SEKSI PENDIDIKAN MADRASAH KABUPATEN BANGKALAN

Selasa, 16 Juli 2013

BIROKRASI ALA TUKANG POS

BIROKRASI ALA TUKANG POS


                                           By           : Djohan Trio Santoso
                                           Email     : jona_wahyu@yahoo.com


Beberapa minggu yang lalu, bapak dahlan iskan telah menggambarkan bagaimana terseok-seoknya fungsionalisasi kantor pos di era serba cepat seperti saat ini. Masyarakat tidak lagi bingung dan menunggu waktu lama dalam berbagi informasi, tidak lagi menunggu waktu berhari-hari untuk mengirim uang, kerena tinggal pencet via comunicator kapan pun dan dimanapun mereka berada, tidak lagi memakan waktu lama dalam mengirim barang karena saingan kantor pos lebih menawarkan pelayanan yang lebih cepat dan efisien, sebut saja Tiki atau yang lainnya.
Wajah kantor pos saat ini memang dipandang sebelah mata oleh masyarakat, namun ada satu hal yang tidak pernah berubah, yakni kesungguhan para tukang pos dalam bekerja menjalankan tugasnya mengirimkan surat-surat yang ada. Tidak pandang siapa yang meminta jasa, apakah dia orang terpandang atau bukan, tidak melihat apakah dia orang kaya atau miskin, dan tidak melihat jarak, apakah jauh atau dekat. Semua mereka layani, mengantarkannya sampai pada tujuan.
 “aku tukang pos rajin sekali, surat ku bawa naik sepeda, siapa saja aku layani tidak peduli miskin dan kaya, kring kring pos. aku tukang pos rajin sekali, surat ku bawa naik sepeda, siapa saja aku layani tidak peduli jauh dan dekat, kring kring pos
Lirik lagu diatas merupakan sepenggal lagu tukang pos yang sering diputar oleh anak saya setiap pagi sore bahkan malam. Berulang-ulang hingga terdengar jelas dan terpatri impian dalam benak, betapa indahnya jika semua layanan birokrasi di negara kita berjalan sedemikian rupa –“layaknya tukang pos” tidak memandang drajat dan jarak seseorang. Dalam birokrasi sekolah misalnya; Anak-anak miskin, anak-anak jalanan yang tidak punya kekuatan penuh dalam hal biaya sekolah, bisa mendapat perlakuan yang sama ketika mendaftarkan dirinya untuk melanjutkan jenjang yang lebih tinggi tanpa harus gugur sebelum berjuang. Atau, ketika sudah berada dalam lingkungan sekolah, jauh dari diskriminasi perlakuan dan pelayanan. Sungguh ngeri jika terdengar teriakan keras (namun bagai ringkikan lemah yang tak di gubris) mereka yang harus menjual ginjal demi keberlanjutan pendidikan anak, sebagaimana baru-baru ini terjadi. Hal tersebut merupakan salah satu potret dokumentasi yang terkuak dari sekian ribu dokumentasi ketidak adilan yang terpendam, dan tumbuh terpupuk subur.
Para pekerja dan pedagang kecil yang berserakan di pasar tradisional, atau bahkan mereka yang tercecer di pinggir jalan, stasiun dan tempat-tempat keramaian lain, mendambakan ketenangan dalam mengais rejeki, tanpa rasa was-was akan penggusuran para pemodal-pemodal besar.  Sungguh sangat menyayat hati ketika harus melihat mereka harus berlarian kesana kemari karena penggusuran, larangan berjualan dikereta api dengan tanpa titik temu dan solusi,  (meskipun kadang ulah para pedagang membuat penumpang tidak nyaman), Sungguh ironis, kelaparan di lumbung padi sendiri kata almarhum gus dur (semoga beliau mendapatkan tempat yang terbaik disisi-Nya) atau menjadi pengemis di negeri sendiri kata MH Ainun najib dalam cerpennya. Hal ini sangat kontradiktif melihat lirik lagu yang menggambarkan Indonesia adalah surga dunia, misalnya: bukan lautan hanya kolam susu, kail dan jala cukup menghidupimu,………………tongkat kayu dan batu jadi tanaman …….”dst.
Dan semua orang yang tidak mampu, bisa mendapatkan perlakuan yang adil di tingkat pemerintahan daerah, propinsi atau yang lebih tinggi dari itu, dalam mendapatkan hak-haknya sebagai warga negara Indonesia, baik dalam memperoleh pendidikan, tempat tinggal, sosial, politik dan dalam semua bidang kehidupan serta penghidupan masyarakat. sebagaimana amanat UU Republik Indnesia pasal 27 ayat 2: Tiap-tiap warganegara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak
bagi kemanusiaan, Pasal 31 ayat 1: Tiap-tiap Warganegara berhak mendapat pengajaran, pasal 34: Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh Negara dan terahir pasal 33 ayat 4: Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Mungkin akan menjadi baik jika para tukang pos menjadi salah satu wakil masyarakat di senayan atau propinsi atau kabupaten. Mungkin, mereka akan menjalankan tugas tanpa pandang bulu dalam mengabdi kepada masyarakat. Pelayanan terbaik,kepentingan masyarakat menjadi tujuan utama yang diutamakan.  Sebagaimana amant UU diatas “ Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.  Hahahaha sebuah impian kosong, tapi saya amini.


1 komentar:

  1. semua orang tahu akan hal itu. bahkan para PEMBURU PANGKAT menjadikannya "camilan" dalam setiap orasinya. tapi sayang kita hanya bisa berucap "astaghfirullah & masya allah"

    BalasHapus