By : Djohan Trio Santoso
Email : jona_wahyu@yahoo.com
Beberapa minggu
yang lalu, bapak dahlan iskan telah menggambarkan bagaimana terseok-seoknya fungsionalisasi
kantor pos di era serba cepat seperti saat ini. Masyarakat tidak lagi bingung
dan menunggu waktu lama dalam berbagi informasi, tidak lagi menunggu waktu berhari-hari
untuk mengirim uang, kerena tinggal pencet via comunicator kapan pun dan dimanapun
mereka berada, tidak lagi memakan waktu lama dalam mengirim barang karena
saingan kantor pos lebih menawarkan pelayanan yang lebih cepat dan efisien,
sebut saja Tiki atau yang lainnya.
Wajah kantor pos
saat ini memang dipandang sebelah mata oleh masyarakat, namun ada satu hal yang
tidak pernah berubah, yakni kesungguhan para tukang pos dalam bekerja menjalankan
tugasnya mengirimkan surat-surat yang ada. Tidak pandang siapa yang meminta
jasa, apakah dia orang terpandang atau bukan, tidak melihat apakah dia orang
kaya atau miskin, dan tidak melihat jarak, apakah jauh atau dekat. Semua mereka
layani, mengantarkannya sampai pada tujuan.
“aku
tukang pos rajin sekali, surat ku bawa naik sepeda, siapa saja aku layani tidak
peduli miskin dan kaya, kring kring pos. aku tukang pos rajin sekali, surat ku
bawa naik sepeda, siapa saja aku layani tidak peduli jauh dan dekat, kring
kring pos ”
Lirik lagu diatas
merupakan sepenggal lagu tukang pos yang sering diputar oleh anak saya setiap
pagi sore bahkan malam. Berulang-ulang hingga terdengar jelas dan terpatri
impian dalam benak, betapa indahnya jika semua layanan birokrasi di negara kita
berjalan sedemikian rupa –“layaknya tukang pos” tidak memandang drajat dan
jarak seseorang. Dalam birokrasi sekolah misalnya; Anak-anak miskin, anak-anak
jalanan yang tidak punya kekuatan penuh dalam hal biaya sekolah, bisa mendapat
perlakuan yang sama ketika mendaftarkan dirinya untuk melanjutkan jenjang yang
lebih tinggi tanpa harus gugur sebelum berjuang. Atau, ketika sudah berada dalam
lingkungan sekolah, jauh dari diskriminasi perlakuan dan pelayanan. Sungguh
ngeri jika terdengar teriakan keras (namun bagai ringkikan lemah yang tak di
gubris) mereka yang harus menjual ginjal demi keberlanjutan pendidikan anak,
sebagaimana baru-baru ini terjadi. Hal tersebut merupakan salah satu potret
dokumentasi yang terkuak dari sekian ribu dokumentasi ketidak adilan yang
terpendam, dan tumbuh terpupuk subur.
Para pekerja dan
pedagang kecil yang berserakan di pasar tradisional, atau bahkan mereka yang
tercecer di pinggir jalan, stasiun dan tempat-tempat keramaian lain, mendambakan
ketenangan dalam mengais rejeki, tanpa rasa was-was akan penggusuran para
pemodal-pemodal besar. Sungguh sangat
menyayat hati ketika harus melihat mereka harus berlarian kesana kemari karena
penggusuran, larangan berjualan dikereta api dengan tanpa titik temu dan
solusi, (meskipun kadang ulah para
pedagang membuat penumpang tidak nyaman), Sungguh ironis, kelaparan di lumbung
padi sendiri kata almarhum gus dur (semoga
beliau mendapatkan tempat yang terbaik disisi-Nya) atau menjadi
pengemis di negeri sendiri kata MH Ainun najib dalam cerpennya. Hal ini sangat kontradiktif melihat lirik
lagu yang menggambarkan Indonesia adalah surga dunia, misalnya: bukan lautan
hanya kolam susu, kail dan jala cukup menghidupimu,………………tongkat kayu dan batu
jadi tanaman …….”dst.
Dan semua orang yang tidak mampu, bisa mendapatkan
perlakuan yang adil di tingkat pemerintahan daerah, propinsi atau yang lebih
tinggi dari itu, dalam mendapatkan hak-haknya sebagai warga negara Indonesia,
baik dalam memperoleh pendidikan, tempat tinggal, sosial, politik dan dalam
semua bidang kehidupan serta penghidupan masyarakat. sebagaimana amanat UU Republik
Indnesia pasal 27 ayat 2: Tiap-tiap
warganegara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak
bagi kemanusiaan, Pasal 31 ayat
1: Tiap-tiap Warganegara berhak mendapat pengajaran, pasal 34: Fakir miskin dan
anak-anak yang terlantar dipelihara oleh Negara dan terahir pasal 33 ayat 4: Bumi
dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Mungkin akan menjadi baik jika para tukang pos menjadi
salah satu wakil masyarakat di senayan atau propinsi atau kabupaten. Mungkin, mereka
akan menjalankan tugas tanpa pandang bulu dalam mengabdi kepada masyarakat.
Pelayanan terbaik,kepentingan masyarakat menjadi tujuan utama yang diutamakan. Sebagaimana
amant UU diatas “ Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Hahahaha sebuah impian
kosong, tapi saya amini.
semua orang tahu akan hal itu. bahkan para PEMBURU PANGKAT menjadikannya "camilan" dalam setiap orasinya. tapi sayang kita hanya bisa berucap "astaghfirullah & masya allah"
BalasHapus